Rasa sungkan, malu, khawatir dikatakan tidak bisa balas budi atau khawatir menyusahkan dan berbagai rasa lainnya bergelayutan dikepala seseorang ketika mengetahui orang yang dihormati atau yang disayanginya melakukan kesalahan. Rasa-rasa ini kemudian menghalanginya untuk melakukan apa yang seharusnya dilakukan. Padahal dia tahu akibat buruk dari pembiaran tersebut, namun rasa hormat, rasa sayang atau rasa sungkan telah mengalahkan semuanya, bahkan terkadang mengalahkan keimanannya. Akibatnya, mereka akan merasakan penyesalan yang tidak berkesudahan. Tapi kalau dia melawan rasa itu demi kebaikan bersama, mungkin dia akan merasakan kepahitan tapi itu sementara. Setelah itu dia akan bisa tersenyum bahagia. Ibarat orang sakit yang rela menelan pil pahit tapi setelah itu badan terasa segar.
Itulah salah satu pelajaran yang bisa kita ambil dari kisah salah shahabat Rasûlullâh ﷺ yang bernama Umair bin Sa’ad رضي الله عنه . Berikut ini adalah kisahnya.
Dia adalah Umair bin saad رضي الله عنه . Beliau beriman kepada risalah yang dibawa Rasûlullâh semenjak beliau رضي الله عنه masih belia. Keimanan menghujam kuat dalam hati nya karena keimanan itu masuk disaat hati nya masih bersih dari berbagai syubhat dan penyakit. Keimanan yang kuat inilah yang menjadi moti vator utama, sehingga terlahir pribadi yang sungguh menakjubkan sampai-sampai Umar bin al-Khatt hab menyemati nya gelar nasîju wahdih (satu-satunya, tak tertandingi).
Dia pernah merasakan getirnya kehidupan ketika ayah tercinta meninggal dunia. Namun itu tidak berlangsung lama. Karena tidak beberapa lama, sang ibu dinikahi oleh lelaki kaya raya dari Madinah yang bernama Julâs bin Suwaid. Meski hidup dengan bapak tiri, namun dia merasakan seperti hidup dengan bapak kandung. Itu juga yang dirasakan oleh Julâs. Julâs رضي الله عنه memberikan perhatian sepenuhnya serta merawatnya dengan baik. Umair sangat hormat dan bakti kepada Julâs رضي الله عنه . Umair kecil terus bertambah usia dan bertambah matang pula cara berpikirnya. Kecerdasan, kejujuran dan bakti kepada orang tua semakin menguatkan rasa cinta Julâs رضي الله عنه kepadanya. Begitulah keluarga ini hidup bahagia.
COBAAN YANG BERAT
Kehidupan seseorang tidak akan terlepas dari cobaan. Itu pula yang dirasakan Umair bin Saad رضي الله عنه . Itu bermula keti ka Rasûlullâh mengumandangkan jihad kepada kaum Mukminin, melawan tentara Romawi. Peristi wa ini terjadi pada tahun 9 hijriyah, dalam perang Tabuk. Kaum Muslimin bergegas menjawab seruan itu sekalipun di musim yang sangat panas. Respon baik dan cepat kaum Muslimin termasuk keti ka diserukan infak dijalan Allâh guna mempersiapkan bekal pasukan dilihat langsung oleh Umair رضي الله عنه . Pemandangan ini sangat berbekas dalam diri Umair ضي الله عنه. Dia pulang dari masjid dengan wajah ceria, karena gembira hati nya melihat sikap para shahabat terhadap seruan Rasûlullâh ﷺ. Namun rasa takjub dan bahagia ini berubah ketika dia pulang ke rumah ayah tirinya. Dia رضي الله عنه melihat Julâs tidak tergerak untuk membantu ikut bersama Rasûlullâh ﷺ atau untuk membantu kaum Muslimin yang sedang kesulitan mencari bekal perang.
Umair رضي الله عنه tidak tinggal diam dia berusaha membangkitkan semangat ayah tirinya dengan menceritakan kesemangatan para sahabat dalam menyambut panggilan jihad ini, terutama cerita orang-orang miskin yang memohon disertakan dalam perang itu, namun terpaksa ditolak karena ti dak ada bekal. Cerita Umar ini ditanggapi dingin saja. Dan alangkah terkejutnya Umair رضي الله عنه ketika mendengar ucapan yang keluar dari mulut Julâs. Dia mengatakan, “Seandainya pengakuan Muhammad itu bahwa dirinya sebagai Nabi itu benar, maka sungguh kita lebih buruk dari keledai.”
Seperti tersambar petir, seolah tidak percaya bagaimana mungkin perkataan seperti ini keluar dari mulut Julâs orang yang selama ini berbuat baik kepadanya dan orang yang ia banggakan. Sebagai manusia, tentu Umair رضي الله عنه merasa bingung, apa yang dia harus dia lakukan. Namun beliau رضي الله عنه tidak tenggelam dalam kebingungan yang berlarut-larut. Kekuatan iman yang ada dalam dirinya menuntunnya untuk mengambil sikap sebagaimana mesti nya. Dia رضي الله عنه mengatakan, “Saya bersaksi bahwa Muhammad itu benar dan engkau memang lebih buruk dari himar.” Dia juga mengatakan, “Jika ini tidak saya sampaikan kepada Rasûlullâh ﷺ , saya khawatir akan diturunkan ayat al-Qur’an (yang menjelaskannya) dan saya dipersalahkan karenanya.1 ”
Akhirnya, Umair mendatangi Rasûlullâh ﷺ dan melaporkan perkataan ayah tirinya itu2 . Rasûlullâh ﷺ memanggil Julâs dan merecek kebenaran berita yang disampaikan anak tirinya itu. Julâs sempat mengingkari dan bersumpah bahwa dia tidak mengucapkan kalimat itu. Namun ketika Allâh عزوجل menurunkan ayat yang menjelaskan duduk perkaranya, Julâs terdiam. Ketika itu Allâh k menurunkan firman-Nya :
﴿ يَحْلِفُوْنَ بِاللّٰهِ مَا قَالُوْا ۗوَلَقَدْ قَالُوْا كَلِمَةَ الْكُفْرِ وَكَفَرُوْا بَعْدَ اِسْلَامِهِمْ وَهَمُّوْا بِمَا لَمْ يَنَالُوْاۚ وَمَا نَقَمُوْٓا اِلَّآ اَنْ اَغْنٰىهُمُ اللّٰهُ وَرَسُوْلُهٗ مِنْ فَضْلِهٖ ۚفَاِنْ يَّتُوْبُوْا يَكُ خَيْرًا لَّهُمْ ۚوَاِنْ يَّتَوَلَّوْا يُعَذِّبْهُمُ اللّٰهُ عَذَابًا اَلِيْمًا فِى الدُّنْيَا وَالْاٰخِرَةِ ۚوَمَا لَهُمْ فِى الْاَرْضِ مِنْ وَّلِيٍّ وَّلَا نَصِيْرٍ ٧٤ ﴾
Mereka (orang-orang munafik itu) bersumpah dengan (nama) Allâh, bahwa mereka tidak mengatakan (sesuatu yang menyakiti mu). Sesungguhnya mereka Telah mengucapkan perkataan kekafiran, dan Telah menjadi kafir sesudah Islam dan mengingini apa yang mereka tidak dapat mencapainya, dan mereka tidak mencela (Allah dan Rasul-Nya), kecuali Karena Allâh dan rasul-Nya Telah melimpahkan karunia-Nya kepada mereka. Maka jika mereka bertaubat, itu adalah lebih baik bagi mereka, dan jika mereka berpaling, niscaya Allâh akan mengazab mereka dengan azab yang pedih di dunia dan akhirat; dan mereka sekali-kali ti daklah mempunyai pelindung dan tidak (pula) penolong di muka bumi. (QS. At-Taubah/9:74)
Mengetahui ayat ini, Julâs رضي الله عنه menyatakan diri bertaubat dan ia benar-benar bertaubat.
Begitulah akhir dari rasa pahit yang dirasakan Umair bin Sa›ad رضي الله عنه dengan melaporkan perkataan yang sangat ia sukai. Buahnya baik untuk semua, karena dia mengakui kesalahannya dan bertaubat. Dengan laporan ini Julâs selamat dari ancaman nereka. Karena laporan itulah menjadi penyebab dia bertaubat dan selamat dari murka-Nya.
Umair bin Sa›ad tumbuh sebagai pribadi yang Zuhud. Keti ka Umar bin al-Khatt ab mengangkatnya sebagai penguasa di Hims, Umair رضي الله عنه tidak pernah memberikan laporan apapun kepada khalifah selama setahun. Melihat gelagat ini, Umar mengirinkan surat kepada Umair bin Sa›ad رضي الله عنه agar menghadap ke Umar dengan membawa harta yang didapatkan. Menerima surat dari khalifah, Umair رضي الله عنه segera bersiap untuk melakukan perjalanan. Beliau رضي الله عنه mengemasi kantung perbekalannya (tas bekalnya), satu piring dan peralatannya yang diikatkan pada sebatang tombak yang beliau رضي الله عنه bawa. Setalah di rasa siap, beliau رضي الله عنه mulai melakukan perjalanan dari Hims (syiria) ke Madinah dengan berjalan kaki. Sebuah perjalanan yang teramat berat jika dibayangkan sekarang. Akibat dari perjalanan panjang ini tentu semuanya berubah, pakaian dan rambut kusut dan berdebu, badan letih dan lain sebagainya. Dalam kondisi inilah, Umair menghadap khalifah Umar bin al-Khattab. Beliau رضي الله عنه kaget melihat kondisi Umair bin Sa’ad. Kemudian berlangsung dialog antara Umar رضي الله عنه dan Umair رضي الله عنه.
Umar رضي الله عنه bertanya tentang kabarnya, Umair رضي الله عنه menjawab, «Badan saya sehat dan saya telah memiliki dunia.» Melihat kondisi Umair رضي الله عنه yang kelelahan sehabis melakukan perjalanan panjang, beliau رضي الله عنه bertanya keheranan, «Engkau datang dengan berjalan kaki.» Umair menjawab, «Ya» Dengan penuh keheranan, Umar bertanya, «Apa tidak ada seorang pun yang bershadaqah kepadamu dengan hewan tunggangan ?» Umair رضي الله عنه mejawab, «Mereka tidak melakukan itu dan saya tidak meminta mereka (untuk melakukannya).» Umar berkata, «Mereka adalah seburuk-buruk kaum Muslimin.»
Umair رضي الله عنه berkata, «Wahai Umar, sesungguhnya Allâh عزوجل telah melarang saudara untuk ghibah (menggunjing).»
Umar رضي الله عنه bertanya lagi kepada Umair, «Apa yang telah lakukan selama ini ?» Umair menjawab, «Harta yang telah aku punguti (dari Muslimin) telah saya posisikan pada tempat-tempatnya, seandainya engkau berhak mendapatkan bagian, tentu bagian itu sudah bawakan ke sini.» Mendengar jawaban ini, Umar رضي الله عنه mengatakan, «Perbaharui (perpanjang) masa jabatan Umair !»3 namun Umair menolak dengan baik, permintaan Umar رضي الله عنه ini. Begitulah akhirnya, Umair memilih tinggal di rumahnya. Beliau رضي الله عنه memilih meninggalkan kekuasaan demi kebaikan akhiratnya.
Demikianlah kisah Umair رضي الله عنه . keimanannya telah menyelamatkan ayah tirinya. Semoga kita bisa mengambil pelajaran dari kisah singkat ini.
Footnote:
1 Lihat Usudul Ghâbah, 3/780
2 Lihat Siyar a’lâmin Nubalâ, 2/558
3 Lihat Siyar a’lamin Nubala, 2/558-561
Majalah As-Sunnah 03 tahun XV Sya’ban 1432H / Juli 2011M